Bagi
yang lahir di atas tahun 90-an pasti belum tahu jika dulu banyak film
Indonesia yang bergenre fantasi. Selain itu, mungkin tidak banyak yang
menyangka bahwa zaman dulu film drama malah jarang ada. Bioskop-bioskop
Indonesia kala itu lebih banyak diisi dengan film-film silat, legenda,
horor (yang benar-benar horor), dan juga fantasi. Saat
itu, bioskop-bioskop di tanah air belum dibanjiri oleh film-film dari
Hollywood. Selain itu, masih banyak pengusaha bioskop independen yang
tidak memonopoli pasar. Dengan begitu, mereka bisa menentukan film-film
yang diputar berdasarkan selera penonton di setiap kota.
Kondisi tersebut berbeda
jauh dengan kondisi saat ini. Jika dibandingkan, pilihan genre film
Indonesia saat ini kalah dengan produk impor yang menawarkan berbagai
macam pilihan. Fantasi, animasi, dan fiksi ilmiah merupakan jenis film
yang sulit ditemukan di bioskop Indonesia saat ini. Hal
tersebut dipengaruhi oleh minimnya perkembangan teknologi animasi
digital tanah air. Selain itu, gempuran film-film asing membuat kita
kalah bersiang di pasaran. Maka dari itu, saat ini para produser dalam
negeri belum berani ambil resiko membuat genre fantasi.
Kelesuan film Indonesia
sendiri saat ini dimulai ketika memasuki tahun 90-an. Bioskop-bioskop
saat itu lebih banyak diisi dengan tema-tema yang mengarah pada
pornografi. Banyak yang mengatakan bahwa saat itu film Indonesia sedang
mati suri. Kini
penonton bioskop sudah lebih sering menyaksikan karya-karya anak bangsa
di layar lebar. Meskipun belum sepenuhnya kembali berjaya, tapi
setidaknya sienas muda kita telah menampakkan geliatnya.
Nah, bagi yang penasaran atau ingin tahu film fantasi jadul Indonesia, mari kita simak ulasan 10 Film Fantasi Paling Jadul Indonesia berikut ini :
1. OUW PEH TJOA (1934)
OUW PEH TJOA itu
Indonesia? Ya, pertanyaan tersebut bakal mengusik kita karena memang
nama itu terdengar seperti berasal dari Cina. Sebenarnya, tidak
sepenuhnya salah, karena film garapan The Teng Chun ini memang
diadaptasi dalam kisah klasik Cina, Legenda ular puith. Film
yang diproduksi oleh Cino Motion Pictures ini bercerita tentang seekor
siluman ular putih yang menyamar menjadi perempuan cantik, Bai Suzhen,
dan bertemu dengan manusia, Khouw Han Boen. Mereka kemudian saling jatuh
cinta dan memutuskan untuk menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja
hingga suatu saat Han Boen menyadari kalau ternyata istrinya adalah
seekor siluman.
Karena ketakutan, Han
Boen mengadukan hal ini pada seorang suhu, Hoat Hae Sian Soe. Mendengar
pengaduan Han Boen, suhu besar tersebut kemudian mendatangi Bai Suzhen
untuk membunuhnya agar tidak mengganggu masyarakat sekitar. Suhu Hoat
Hae Sian Soe pun mendatangi Bai Suzhen bersama dengan Han Boen. Namun,
sebelum niat itu terlaksana, Dewi Kwan Im datang mencegahnya. Hal itu
karena Bai Suzhen sedang mengandung anak Han Boen. Suhu tersebut pun
mengurungkan niatnya dan menunggu anak tersebut lahir. Setelah
melahirkan, Bai Suzhen meminta suaminya untuk merawat anak mereka dengan
baik sementara ia menyerahkan diri pada suhu besar.
Cerita yang muncul
pertama kali pada era Dinasti Ming ini memang memiliki banyak versi.
Ketika banyak pedagang Cina masuk ke wilayah Nusantara (sebelum menjadi
Indonesia) legenda rakyat tersebut membaur dan berkembang sesuai dengan
budaya Nusantara (dulu belum Indonesia). Cerita dalam OUW PEH TJOA ini
merupakan salah satunya. Film
ini ternyata laris dipasaran kala itu. Buktinya, film ini dibuatkan
seri lanjutan yang berjudul ANAKNJA SILOEMAN OELAR POETIH. Film tersebut
menceritakan kelanjutan kisah anak Bai Suzhen yang ditinggalkan ibunya.
2. TIE PAT KAI KAWIN (1935)
Beginilah cinta,
deritanya tiada akhir. Siapa yang tak kenal dengan ungkapan terkenal
itu? Ungkapan yang menggambarkan kegalauan seseorang dalam bercinta itu
sering diucapkan oleh siluman babi yang gemar menggoda wanita, Tie Pat
Kai. Siluman
genit dari Cina itu ternyata pernah dibuatkan film tersendiri dengan
versi Indonesia. Film tersebut dibuat 10 tahun sebelum proklamasi
kemerdekaan. The Teng Chun lewat Java Industrial Film menjadi sosok di
balik lahirnya film adaptasi Negeri Tirai Bambu tersebut.
Dikisahkan, siluman
babi, Tie Pat Kai, telah menyelesaikan pertapaannya dan mampu berubah
dalam wujud manusia. Ia kemudian turun gunung dan pergi ke kota. Di
sana, ia berjumpa dengan seorang gadis cantik bernama Tjoei Lan, putri
saudagar kaya Kho Tay Kong. Mereka
berdua kemudian menikah dan memiliki seorang anak. Ketika anak mereka
lahir, Kho Tay Kong terkejut karena anak tersebut berwujud babi. Ia
mencurigai Pat Kai kalau dirinya adalah siluman. Ia kemudian mengusir
Tie Pat Kai.
Pat Kai kabur membawa
Tjoei Lan. Ayahnya yang bingung kemudian meminta bantuan biksu Tong San
Tjong. Bersama muridnya, Tong Sam Tjong mengejar Pat Kai dan memaksanya
untuk mengembalikan putri saudagar tersebut. Jika
pernah melihat serial KERA SAKTI dari Cina, TIE PAT KAI KAWIN ini akan
terasa jauh berbeda. Di sini, Pat Kai bukanlah seorang jenderal langit
yang harus mengalami seribu kali derita cinta. Meskipun begitu, adaptasi
tersebut membuktikan bahwa dulu sineas kita berani menyadur legenda
luar negeri dan hal itu layak untuk diapresiasi.
3. ANAKJNA SILOEMAN OELAR POETI (1936)
ANAKJNA SILOEMAN OELAR
POETI merupakan lanjutan cerita yang diangkat dari kisah klasik Cina,
OUW PEH TJOA. Cerita ini masih disutradarai oleh pembuat prequlnya, The
Teng Chun. Film yang masih berwarna hitam putih ini diproduksi oleh Java
Industrial Film. Anak
Bai Suzhen yang dulu ditinggalkannya, kini telah besar. Ketika remaja,
ia baru mengetahui bahwa ayahnya adalah manusia dan ibunya seekor
siluman. Mengetahui hal tersebut, ia menjadi bahan olok-olok temannya.
Anak tersebut kemudian
melarikan diri dari rumah dan pergi jauh. Ia lalu tersesat di hutan dan
kebingungan. Ketika tersesat, ia kemudian bertemu dengan monyet besar
yang berusaha menangkapnya. Cerita
ANAKJA SILOEMAN OELAR POETI ini mungkin terasa jauh berbeda dari
legenda asalnya. Hal itu wajar saja karena memang sudah disesuaikan
dengan pasar Indonesia kala itu. Makanya, jika kita mencari korelasi
antara cerita film ini dengan legenda aslinya, akan terasa jauh berbeda.
Cerita ular putih ini
memang telah melegenda, baik di negeri asalnya maupun di Indonesia. Di
era 90-an televisi nasional pernah diramaikan oleh serial ini dengan
judul LEGENDA ULAR PUTIH (WHITE SNIKE LEGEND). Serial ini diimpor
langsung dari Cina dan memiliki banyak penggemar. Sinetron
Indonesia modern pun juga pernah mengadaptasi cerita ini. Kisah yang
dibuat pada era Dinasti Ming ini berjudul LEGENDA ULAR PUTIH (2005) dan
ditayangkan selama 13 episode. Sinetron tersebut dibintangi Sahrul
Gunawan, Intan Nuraini, Chaca Frederica, Tetty Liz Indriarti, Yadi Timo,
dan Krisno Bossa.
4. RATNA MUTU MANIKAM (1941)
Jika ada yang pernah
bermimpi dapat berjalan-jalan di awan, maka film ini adalah perwujudan
dari fantasi tersebut. Sutan Usman Karim atau lebih dikenal dengan Suska
bersama dengan produser The Teng Chun mewujudkan imajinasi liar
tersebut sebelum film berwarna masuk Indonesia. Melalui RATNA MUTU
MANIKAM Suska bercerita tentang sebuah kerajaan di awan. Film
ini berkisah tentang kisah cinta tiga dewi bersaudara yang menyukai
seorang pria yang sama. Mereka adalah Ratna Mutu Manikam, Laila Kesuma,
dan Kumala Juwita yang menjadi penduduk kerajaan awan.
Pria yang mereka taksir bersama adalah seorang raja manusia bernama Sultan Dardyah Alam. Suatu
saat Kumala nekat melamar Darsyah. Namun, lamaran Kuamala tersebut
ditolak dan membuat hatinya hancur. Ia kemudian mendendam pada Darsyah
dan meminta bantuan para jin dan peri untuk menghancurkan Darsyah. Lelia
yang mengetahui hal itu memberitahu Ratna. Mereka berdua kemudian
mengadu pada Bathara Guru. Mendengar hal itu, Bathara Guru hanya
menjawab bahwa itu adalah ujian bagi Darsyah. Nantinya, jika Darsyah
mampu melewati cobaan tersebut, maka ia akan berjodoh dengan Ratna.
Cerita ini memang tampak
adanya percampuran imajinasi pengarang dengan cerita pewayangan. Latar
tempat di negeri awan bisa diasosiasikan dengan khayangan dalam cerita
pewayangan yang biasanya ada di awan. Selain itu, munculnya tokoh
Bathara Guru sebagai penasehat juga sama dengan penasehat dalam cerita
Pandawa. Film ini
terinspirasi oleh drama panggung berjudul DJOELA DJOELI BINTANG TIGA.
Pembuatan sinema ini terhenti ketika Jepang menduduki Indonesia. Setelah
itu, atas perintah Jepang, pengerjaannya diselesaikan oleh Tan Tjoei
Hock. Format sinema ini masih dalam bentuk film hitam putih.
5. TOPENG BESI (1953)
TOPENG BESI merupakan
salah satu film produksi dalam negeri setelah era proklamasi. Sinema
layar lebar keluaran Samudra Film ini bisa dikategorikan sebagagai jenis
fantasi karena akhir ceritanya yang tidak terduga. Sutradara Barnas
Lesmana mungkin pernah mengalami cerita yang disutradarainya ini dalam
hidupnya. Cerita
ini bertema istanasentris dengan jalan cerita seputar perebutan
kekuasaan kerajaan. Dikisahkan, seorang raja di negeri antah berantah
baru saja mendapatkan seorang putri yang cantik. Ketika baru lahir,
tanpa sepengetahuan raja, putri tersebut dibuang oleh seorang perdana
menteri yang menginginkan tahta kerajaan tersebut.
Dayang Leila yang
diperintahkan untuk membuang putri tersebut, merasa tidak tega ketika
berada di tepi Telaga Maut. Ia kemudian menitipkan bayi itu pada
seseorang yang ditemuinya di dekat Telaga Maut. Pria tersebut bernama
Kuntul. Kuntul
kemudian merawat bayi raja tersebut dan menamainya Bandargita. Setelah
20 tahun, Bandargita sadar akan asal usulnya. Ia kemudian berniat
kembali ke kerajaan dan merebut tahta yang menjadi haknya.
Sementara itu, kerajaan
yang kini dipimpin oleh Perdana Menteri membuat rakyat resah.
Kekejamannya membuat rakyat ingin memberontak. Dengan dipimpin
Bandargita, rakyat pun melakukan kudeta menjatuhkan Perdana Menteri. Di
akhir cerita, Kuntul terbangun dan ternyata semua itu hanyalah mimpi. Film
ini dibintangi oleh A. Ramli, Chaidir Sakti, Frans Lantua,
Mujarikusumah, Nazar, Nirawati Perry, R. Kusmana Suwirja, dan Tati.
6. LAHIRJNA GATOTKATJA (1960)
Siapa tak kenal tokoh
pewayangan yang gagah perkasa, Gatotkaca? Putra Bima yang paling kuat
ini ternyata pernah dibuatkan film jauh sebelum kita lahir. Bagi kita
yang hidup di era modern ini, nggak bakal pernah kebayang bagaimana
tokoh fantasi tradisional ini bisa dijadikan bahan tontonan. Tapi,
itulah yang terjadi 54 tahun yang lalu. D. Djajakusuma yang besar di
lingkungan seni tradisional membawa cerita pewayangan ke dalam filmnya.
Ia memasukkan berbagai macam unsur budaya Jawa ke dalam film ini,
termasuk kostum, alur cerita, dan latar tempat.
LAHIRJNA GATOTKATJA
sendiri bercerita tentang prahara yang terjadi di Kerajaan Pringgondani.
Setelah menguasai Pringgondani, Prakuna meminta pada seorang istri pada
khayangan. Para dewa tak sanggup menolak. Maka, turunlah Supraba untuk
turun menipu sang perusak. Karena
merasa tertipu, Prakuna marah dan siap menyerang khayangan. Para dewa
bingung dan mencari akal untuk melawan Prakuna. Menurut ramalan, hanya
putra Bima, Gatotkaca, yang bisa mengalahkan Prakuna. Namun, Gatotkaca
sendiri saat itu masih terlalu kecil untuk berperang.
Kemudian, para dewa
memutuskan untuk menggodok Gatotkaca di Kawah Candradimuka. Setelah
keluar dari sana, ia pun menjadi besar, tegap, dan kuat. Dengan wujud
barunya, Gatotkaca mampu mengatasi krisis di Pringondani dan bahkan di
negara-negara lainnya. Kisah
pewayangan ini diadaptasi dengan setia oleh sang sutradara tanpa
mengingkari cerita aslinya. Meskipun begitu, cara penyajiannya tidak
seperti pakem wayang, melainkan mengikuti cara bertutur film
konvensional.
7. ALADIN DAN LAMPU WASIAT (1980)
Cerita yang diadaptasi
dari kisah klasik Timur Tengah ini sangat populer saat itu.
Kepopulerannya tersebut lantas membuat Rapi Films meminta Sisworo
Gautama Putra untuk menggarap film tersebut. Garapan pria yang telah
meninggal 1993 itu pun laris manis digemari penonton. Hampir
sama dengan cerita aslinya, film tersebut mengisahkan tentang seorang
anak miskin bernama Aladin (Rano Karno) yang hidup berdua dengan ibunya.
Sehari-hari ia bekerja sebagai kuli di pasar. Ayahnya sendiri telah
lama meninggal dan meninggalkan mereka dalam kemiskinan.
Suatu ketika Aladin
menemukan setumpuk harta lewat tukang sihir yang mengaku sebagai kakak
mendiang ayahnya. Di tempat itu ia menemukan lampu wasiat. Mendadak si
tukang sihir menyatukan bumi yang terbelah, hingga Aladin terperangkap
di dalamnya. Berkat
bantuan Jin dalam lampu wasiat itu, Aladin mampu terbebas dari
perangkap penyihir. Ia pun bersahabat dengan Jin penunggu lampu wasiat
tersebut. Jin itu selalu membantu Aladin setiap kali menghadapi
kesulitan.
Suatu ketika, ia bertemu
Putri Permatasari (Lydia Kandou), yang sedang berjalan jalan diiringi
para dayang. Aladin terpikat dengan kecantikan putri tersebut dan
melanggar dengan memandangi wajah putri. Ia ditangkap. Berkat
pertolongan jin, Aladin berhasil menyunting Permatasari. Film
ini dibintangi aktor terkenal Rano Karno, Lydia Kandou, Marlia Hardi,
Sukarno M Noor, dan Hadisjam Tahax. Sebelumnya, cerita ini juga pernah
difilmkan dengan judul ALADIN DENGAN LAMPOE WASIAT (1941) dan ALADIN
(1953).
8. DARNA AJAIB (1980)
Jika mendengar judul di atas, apa yang bakal terpikir di benak kita? Sebuah senjata sakti? Atau sebuah jurus silat? Ya,
ternyata semuanya salah . DARNA AJAIB adalah film superhero anak yang
punya kekuatan seperti SUPERMAN. Ia dapat terbang cepat dan memiliki
kekuatan super untuk menyelamatkan banyak orang. Ia mampu menyelamatkan
kereta api yang hampir masuk jurang, menangkap para penjahat, dan berbagai macam aksi heroik lainnya.
Diceritakan bahwa Darna
terlahir dengan kondisi terbungkus plasenta. Hal ini membuatnya menjadi
memiliki kekuatan super. Ia pun dianggap sebagai anak ajaib. Ternyata
yang memiliki kekuatan super bukan hanya Darna. Maria, kawan kecilnya
juga terlahir dengan kekuatan gaib. Hanya saja, proses kelahiran Maria
berbeda. Ia dikandung hanya dalam waktu semalam dan lahir ke dunia. Ibu
yang melahirkannya meninggal saat itu juga.
Sebagai antitesis dari
Darna, Maria memiliki kekuatan gaib, namun berasal dari roh jahat.
Ketika dewasa, mereka akhirnya menjadi lawan satu sama lain. Perseteruan
berakhir ketika Darna mampu menghancurkan roh jahat yang menguasai
Maria. Film yang
digarap Lilik Sudjio ini dibintangi artis-artis cilik kala itu. Nia
Zulkarnaen dan Lydia Kandou merupakan artis pemeran Darna dan Maria yang
sekarang kita kenal sebagai artis yang sudah dewasa. Selain itu, masih
ada Ryan Hidayat, Donny Nurhadi, Ria Irawan, dan Dian Ariestya yang
berperan dalam film si anak ajaib tersebut.
9. PANDAWA LIMA (1983)
Dengan mengambil kisah
dari dunia pewayangan, Lukman Hakim Nain memilih cerita tentang para
putra Pandu Dewanata. Hampir seperti serial MAHABARATA yang sedang
populer saat ini, PANDAWA LIMA bercerita tentang epik perang
antarkeluarga kerajaan India yang terkenal itu. Hanya saja, yang diceritakan di sini adalah cerita versi Jawa. Alkisah,
Pandu Dewanata kembali ke negeri Astina dengan membawa tiga putri yang
dimenangkannya dalam sebuah sayembara. Mereka adalah Dewi Kunti, Dewi
Madrin, dan Dewi Gandari. Meskipun
begitu, Pandu tidak berniat untuk poligami. Ia kemudian menawarkan pada
kakak dan adiknya, Destarata dan Abiyasa, untuk menikahi salah satu
dari ketiga putri tersebut.
Abiyasa menolak, tapi
Destarata menerimanya. Destarata adalah seorang raja yang buta dan tidak
disukai wanita. Karena hal itu para putri tersebut mencari akal
sendiri-sendiri untuk terhindar dari pernikahan dengan Destarata. Namun,
karena salah perhitungan, Dewi Gandari justru malah terpilih menikah
dengan Destarata.Gandari
pun jengkel dan merasa dendam pada Kunti dan Madrin karena menjadi
istri Pandu yang jauh lebih tampan. Sedangkan dirinya sendiri harus
melayani Destarata yang tua dan buta.
Kejengkelanya ini akhirnya menurun pada keturunan mereka, Kurawa dan Pandawa. Suatu
saat, Gandari terhasut oleh Pandita Durna untuk menguasai kerajaan
Astina. Ia ingin menguasai Astina tanpa ada pengaruh sedikitpun dari
keturunan Pandu Dewanata. Akhirnya, bersama dengan Arya Sangkuni,
Gandari menempuh berbagai cara untuk melenyapkan Pandawa. Bagi
penggemar serial populer MAHABARATA yang berasal dari India, PANDAWA
LIMA versi Jawa ini tentu bisa jadi pembanding yang menarik. Versi yang
digunakan dalam film ini berasal dari pewayangan Jawa yang telah lama
mengadopsi cerita India tersebut.
10. PUTRI DUYUNG (1985)
Cerita tentang putri
duyung ternyata tidak hanya ada dalam mitologi Barat. Di Indonesia,
perempuan setengah ikan yang cantik ini ternyata juga sudah dikenal
sejak dulu dan pernah dibuatkan filmnya. Film PUTRI DUYUNG ini termasuk
film fantasi jadul yang pernah populer di tanah air. Dibintangi
oleh aktor lawas terkenal, Barry Prima, film ini bercerita tentang
seorang putri duyung yang jatuh cinta pada seorang pelaut. Suatu saat,
ketika berlayar, Tintus melihat seorang putri cantik di tengah laut.
Ketika ia menceritakan hal itu pada temannya, Tigor, ia dianggap sedang
melamunkan kekasihnya, Erna.
Ketika pulang, ternyata
Tintus disambut dengan kabar duka. Erna meninggal lantara terbunuh oleh
komplotan perampok. Ia merasa sangat terpukul dan berniat membalas
dendam. Di sisi
lain, wanita cantik yang dilihat Tintus di lautan ternyata adalah
seorang putri duyung bernama Eva. Terpikat oleh ketampanan Tintus, Eva
akhirnya berniat pergi ke daratan mencari Tintus. Ia kemudian meminta
izin Ratu Duyung untuk pergi ke darat mencari pria rupawan tersebut.
Setelah diberi izin, Eva
menuju daratan mencari Tintus. Di tengah pencariannya, ia diganggu oleh
Herman, komplotan penjahat yang ternyata dulu membunuh kekasih Tintus.
Eva dan Tintus akhirnya bertemu dan melawan Herman. Meskipun
akhir dari film ini bisa ditebak, namun saat itu film ini cukup populer
dan banyak digemari. Aksi laga Barry Prima dan kecantikan Eva Arnaz
menjadi daya tarik tersendiri. Film bergenre fantasi-laga ini ikut
memopulerkan makhluk mitologi Barat, putri duyung, ke dalam budaya
Indonesia.